Lanjut ke konten

Sebuah keinginan dan cita cita

SEBUAH KEINGINAN
siapa sih yang gak ingin desanya maju??pasti semua pingin desanya maju..masyarakatnya makmur damai.
dan tidak muluk rasanya kalau ada tempat yang indah di pandang ..bisa di jadikan onyek wisata seperti sebuah curug/air terjun di kampung ku ini

TRADISI haul Syeh Abdurrahman Kajoran yang digelar

TRADISI haul Syeh Abdurrahman Kajoran yang digelar

setiap 9-11 Syawal di Desa Gringgingsari Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang, seperti diadakan belum lama ini, dapat diibaratkan sebagai hari raya kedua setelah Idul Fitri. Benar-benar dipersiapkan segala sesuatunya mirip penyambutan Lebaran, terutama dalam menyambut ribuan tamu (pengunjung) dari berbagai daerah.

Ritual haul seputar pembacaan manakib, berdoa di kompleks makam, dan pengajian akbar. Acara yang ditunggu-tunggu pengunjung adalah pameran benda peninggalan tokoh tersebut, berupa sorban, tongkat, pakaian dan benda pusaka lain di kompleks masjid tua peninggalan wali itu.

Nama Syeh Abdurrahman Kajoran demikian melegenda dan terpatri dalam ingatan kolektif masyarakat setempat. Tokoh spiritual yang hidup pada abad ke-7 ini diyakini warga sebagai senopati pilih tanding.

Sayang, dalam acara haul dari tahun ke tahun tidak diungkap secara jelas siapa sesungguhnya tokoh yang juga disebut sebagai Sunan Gringging. Data sejarah ketokohannya belum banyak terungkap, terutama kiprahnya dalam menyebarkan ajaran Islam.

Bahkan juru kunci makam, Mbah Thowaf, mengaku tidak tahu-menahu siapa sesungguhnya ulama itu. Dalam pengajian pun tidak disinggung soal riwayat hidupnya, semisal asal-usulnya, kapan, serta ajaran apa yang membekas di hati masyarakat.

Selama ini masyarakat hanya memahami dari sisi mitos dan legenda lewat cerita mulut ke mulut. Mitos dan legenda seputar kesaktian tokoh itu dipahami warga layaknya kebenaran sejarah.

Sejumlah lokasi yang dipercaya pernah menjadi petilasan kini menjadi tempat dikeramatkan seperti makam, sumber air (tuk), parit, dan masjid. Termasuk benda pusaka seperti sorban, tasbih, tongkat dan lainnya.

Sebuah selokan (parit) yang membelah Desa Gringgingsari misalnya, oleh sebagian warga dikeramatkan sedemikian rupa. Parit ini punya makna khusus. Airnya digunakan warga untuk berbagai macam keperluan, namun ada pantangan yang tak boleh dilanggar: wanita yang menstruasi dilarang mendekati. Mandi di sana adalah aib dan dianggap pelanggaran adat. Ada sanksi moral, minimal dicela dan dibenci warga. Mengotori parit sama artinya mengotori niat suci orang yang membangun parit tersebut, yakni Sunan Gringging.

Sebuah parit dibangun dengan semangat spiritual dan filosofi mendalam. Bukan sekadar garukan tanah tempat mengalirnya air melainkan di dalamnya menyimpan ajakan persuasif untuk berperilaku suci dan bersikap arif terhadap lingkungan.

Kearifan Tersembunyi Seperti kisah wali-wali lain di Jawa, Sunan Gringging berdakwah menggunakan pendekatan kultural. Dia tidak hanya berhenti pada kerja fisik (membangun parit) tetapi juga melengkapinya dengan membangun masjid sebagai simbol spiritual dan pusat aktivitas dakwah. Maka sangat masuk akal jika parit tersebut dibangun berdampingan dengan masjid, sehingga masyarakat berpikir ulang jika membuang kotoran ke parit itu.

Sebagai masyarakat agraris, warga Gringgingsari hidup berdampingan dengan sungai, hutan, perbukitan, dan tentunya juga mata air. Mereka hidup berdampingan dengan alam yang menyimpan kearifan tersembunyi. Parit dan sumber air menjadi metafora untuk menyampaikan pesan bahwa bersahabat dengan lingkungan demikian penting demi menjaga harmoni kehidupan. Menjaga dan merawat parit merupakan sebuah kepatuhan pada hukum-hukum tak tertulis yang diwariskan para pendahulu.

Warga Gringgingsari juga bisa belajar dari mitos dan benda peninggalan Mbah Wali berupa masjid tua, pancuran tempat wudu, tongkat, sorban, tasbih, dan lain-lain. Mereka juga akrab dengan legenda seputar sepak terjang sang Sunan dalam menyebarkan ajaran Islam dan keberaniannya menghadapi lawan. Warga familiar dengan dongeng dramatikal seperti kisah Ki Lurah Ajar Pendek, tokoh sakti golongan hitam yang menghalangi perjuangan Syeh Abdurrahman.

Sampai sekarang cerita rakyat masih hidup dan terus dituturkan dari generasi ke generasi. Anak usia SD pun akrab dengan cerita di sekitar kampung halamannya. Dalam masyarakat tradisional kadang ada konsep suci yang khas, bersifat lokalistik, dan tidak gampang dipahami hanya menggunakan logika, misalnya meyakni ada tempat, benda, dan nama khusus yang dianggap ’’berbahaya’’ jika dijamah sembarangan.

TUJUAN WISATA ZIARAH DI KABUPATEN BATANG

Di tengah-tengah merosotnya daya tarik obyek wisata kawasan pantai akibat abrasi dan pencemaran lingkungan, masyarakat sepertinya membutuhkan obyek wisata alternatif berbasis gunung dan alam pedesaan.

Wajah desa merupakan sebuah gambaran tentang ketergantungan masyarakat dengan alam di sekelilingnya. Alam yang memberi spirit dan mampu menghadirkan ketenteraman sekaligus menyejahterakan.

Gagasan pengembangan dan pencacangan Desa Wisata di kabupaten Batang sebenarnya sudah bergaung cukup lama. Desa yang dilirik dan bakal dijadikan obyek wisata antara lain Gringgingsari, masuk wilayah dataran tinggi di kecamatan Wonotunggal.

Desa yang berlokasi di lereng perbukitan ini memang memiliki ciri khas berbeda. Gringging sari memiliki panorama alam yang indah: perbukitan, sungai dan dikenal juga sebagai sentra Pohon sengon dan kerajinan anyaman bambu. Sementara Gringgingsari lebih dikenal dengan situs arkeologinya dan bangunan-bangunan peninggalan jaman dahulu seperti masjid tua, dan makam wali.

Dan yang tak kalah menarik, warga Desa Gringgingsari memiliki tradisi menjaga air sungai agar tetap suci sebagai bagian dari kosmologi mereka. Bagi warga Gringgingsari, mengotori air yang mengalir di parit itu dianggap sebuah pelanggaran adat yang wajib dijauhi.

Tetapi, kapan desa tersebut benar-benar menjadi obyek wisata handal, mendatangkan profit, sekaligus menghadirkan brand bagi pariwisata di Kabupaten Batang?

Selama ini desa tersebut tampil apa adanya dan hanya dikunjungi turis-turis domestik yang nyaris tidak memberikan kontribusi apa-apa bagi pemerintah maupun masyarakat, karena untuk masuk dan menjelajahi wilayah ini memang tidak dipungut biaya alias gratis. Padahal sebuah obyek wisata mestinya membawa dampak ekonomi/ kesejahteraan bagi warga sekitar dan juga menambah kas daerah.dan lagian desa Gringging sari adalah salah satutujuan desa wisata ziarah

Terbukti setiaprabu wage malam kamis kliwon di adakan pengajian rutin ratiban yang di hadiri peziarah dari berbagai daerah di indonesia bahkan dari bahgdat irak .

Dan jumlah tamu yang datangh bisa mencapai jutaan ribu peziarah di kala acara khoul syeh abddurrahman kajoran /sunan kajoran pada tanggal 11 syawal

Yang sering di adakan di makam dan masjid al-karomah Gringging sari

Harus diakui, pemerintah dan masyarakat sekitar belum sepenuhnya bisa menggali dan memanfaatkan potensi wisata di wilayahnya. Atribut-atribut wisata juga masih amat terbatas, hanya ada peta dan petunjuk jalan yang dibuat sederhana dan promosi kecil-kecilan lewat brosur.

Di masa mendatang rasanya perlu ada langkah serius untuk menangani dan mengelola aset desa wisata ini ini agar benar-benar memiliki nilai jual yang sepadan dengan daya tariknya. Apalagi kini sudah tersedia modal dasar berupa jalan aspal sepanjang 10 km lebih yang cukup representatif, sehingga para pengunjung bisa leluasa mengemudikan kendaraannya sampai puncak.

Yang perlu dikerjakan sekarang adalah memoles apa yang sudah ada agar wisata alam ini bisa tampil lebih menarik. Ibarat gadis manis, masih perlu dipoles lagi agar tambah menarik dan memikat banyak orang.

Kawasan yang cukup menarik dan perlu dipoles antara lain kawasan puncak, yakni jalur dari arah utara masuk Desa Sodong sampai Dukuh Silegok, dilanjutkan sampai Desa Gringgingsari. Jalur lainnya adalah dari Desa Sodong menuju Desa Silurah.

Jalur berkelok-kelok ini menarik karena dihiasi perbukitan, tebing curam dan hutan pinus. Pohon-pohon di kanan-kiri jalan perlu ditata sedemikian rupa agar tampak eksotis. Demikian juga perbukitan yang sering berkabut, tebing-tebing, sungai dan air terjun (berair jernih), semuanya bisa ditata menjadi sebuah taman raksasa yang indah dipandang mata. Apalagi dari kawasan ini juga terlihat panorama kawasan pantai.

Bahkan di daerah puncak pada masa mendatang bisa dikembangkan menjadi kawasan highlands yang dilengkapi dengan tower, gedung pertemuan, area perkemahan, kereta luncur dan lain-lain.

Dengan kondisi alam yang bersih dan tertata rapi, maka desa ini secara otomatis menjadi tujuan wisata. Dari situlah penghasilan masyarakat bisa bertambah. Mereka bisa membuka kedai dan menggelar aneka dagangan dari buah-buahan sampai kerajinan tangan.

Dari sini pula sesungguhnya konservasi lingkungan terwujud, yakni pelestarian lingkungan yang berbasis kesadaran masyarakat, yang secara riil dapat meningkatkan pendapatan penduduk. Karenanya, masyarakat sekitar perlu dilibatkan secara langsung karena mereka sendiri yang kelak akan menikmati hasilnya.

Kita bisa mencontoh keberadaan desa-desa wisata di Yogyakarta, tepatnya di Dusun Ngamboh, Desa Margorejo, kecamatan Tempel, Sleman. Warga masyarakat di sana berhasil memelihara kekayaan desa sebagai penghidupan bagi mereka.

Bahkan Gubernur Sri Sultan Hamengkubuwono X mengaku kagum atas kesadaran masyarakat setempat untuk mengubah sebuah desa yang kotor dan tak terawat menjadi kebun yang asri, lengkap dengan kolam ikan dengan memanfaatkan aliran sungai. Memang di sana ada seorang penggagas desa lestari, sekaligus pekerja lapangan yang gigih menjalankan tugasnya.

Sejarah Desa Gringgingsari

Bismillahirrahmanirrahim.

Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam yang telah mengajarkan ilmu kepada manusia dengan kalam. Yang telah memberikan taufiq, hidayah,dan inayah kepada manusia yang Dia kehendaki. Maka sudah sepantasnya kami mengucapkan rasa syukur kepada-Nya dengan ucapan alhamdulillahirrabbil’aalamiin.

Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Agung Sayyidina, wahabibina, wamaulana, Muhammad Shalawallahu’alaihi Wassalam beserta keluarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya, amin ya rabbal’alamiin.

‘Amma ba’du. Di sini kami akan menceritakan sejarah desa Gringgingsari secara ringkas. Desa Gringgingsari terletak di daerah pegunungan. Termasuk wilayah kecamatan Wonotunggal kabupaten Batang. Dahulunya masuk wilayah kabupaten Pekalongan. Desa Gringgingsari dapat terkenal, karena ada makam Auliya’ yaitu makamnya mbah Syarif Abdurrahman yang terkenal dengan nama mbah Pangeran Kajoran. Makamnya terletak di pemakaman umum desa Gringgingsari yang lokasinya ada di sebelah barat Masjid Al Karomah. Banyak para penziarah yang datang ke makam tersebut untuk berdo’a meminta kepada Allah agar hajatnya terkabul. Mbah Pangeran Kajoran menjadi tumpuan, sandaran warga desa Gringgingsari karena jasanya yang telah membawa pelita, untuk menerangi warga Gringgingsari dari kegelapan, menuju zaman pencerahan. Di sini kami tidak akan menceritakan silsilahnya, karena kurang begitu tahu. Yang akan kami ceritakan adalah perjuangannya di desa Gringgingsari.

DESA GRINGGINGSARI

Berdasarkan riwayat, cerita-cerita dari para sesepuh yang kami terima, bahwa desa Gringgingsari dahulunya bernama Karangsirno. Yang menjadi sesepuhnya adalah mbah Wongsogati I. Agama yang dipeluknya agama Budha. Setelah mbah Wongsogati I meninggal, diganti oleh putranya mbah Bromogati. Setelah mbah Bromogati meninggal diganti oleh putranya yang bernama mbah Wongsogati II, cucu dari mbah Wongsogati I.

Pada waktu dipimpin oleh mbah Wongsogati II desa Karangsirno dilanda musibah, yaitu sejenis penyakit yang dinamakan penyakit to’un dengan gejala pagi sakit sorenya meninggal. Banyak warga desa yang meninggal akibat serangan penyakit tersebut. Sudah banyak cara yang dilakukan untuk meredam penyakit tersebut namun belum juga berhasil. Akhirnya selaku pemimpin yang merasa bertanggung kepada warganya, mbah Wongsogati II pergi ke luar desa dengan tujuan untuk mencari seseorang yang bisa menanggulangi wabah penyakit yang sedang melanda desanya. Dalam perjalanannya beliau melewati sebuah sungai yang bernama kalikupang. Di situ beliau berjumpa dengan dua orang yang sedang berdzikir di tepi sungai. Beliau menunggu kedua orang tersebut. Setelah mereka selesai berdzikir kemudian beliau menghampiri keduanya dan menyapanya. Dan akhirnya mereka bertiga saling memperkenalkan diri. Keduanya masing-masing bernama Pangeran Kajoran dan Pangeran Trunojoyo.

Kemudian mbah Wongsogati II menyampaikan isi hatinya, yaitu tentang musibah yang sedang melanda desanya. Dan beliau bertanya apakah mereka berdua bisa untuk mengatasi wabah penyakit tersebut. Pangeran Kajoran menyatakn sanggup untuk membantu menyembuhkan penyakit tersebut tapi dengan sebuah syarat, yaitu mereka bersedia untuk memeluk agama Islam dengan sukarela. Demi kesembuhan penyakit tersebut mbah Wongsogati II bersedia untuk mengajak warga desanya memeluk agama Islam asalkan desa Karangsirno terbebas dari wabah yang sedang melanda. Akhirnya mereka bertiga saling punya janji atau tanggungan. Maka tempat tersebut dinamakan “KEDUNG SINANGGUNG “

Selanjutnya mereka berangkat pergi menuju desa Karangsirno. Sampai di suatu tempat Pangeran Kajoran bertanya di manakah letak desa Karangsirno. Kemudian mbah Wongsogati II menunjukan suatu tempat yang terlihat jauh di arah selatan. Mereka memandang ( nyawang ) tempat yang ditunjukan oleh mbah Wongsogati II. Akhirnya tempat tersebut dinamakan “ KETAWANG “ yang berarti tempat untuk nyawang / memandang. Di tempat tersebut juga ada sebuah pohon gringging atau kayu jaran. Dari sinilah nantinya desa Karangsirno diganti namanya menjadi desa Gringgingsari. Sekarang tempat tersebut lebih dikenal dengan nama tikungan / enggokan Petung. Lokasinya kurang lebih 200 meter ke arah barat dari pertigaan kalikupang.

Setelah sampai di desa Karangsirno mbah Wongsogati II mengumpulkan warganya. Lalu memperkenalkan Pangeraan Kajoran dan Pangeran Trunojoyo kepada mereka. Warga diberi penjelasan bahwa Pangeran Kajoran sanggup untuk ngusadani desa Karangsirno bisa pulih kembali asalkan warganya bersedia untuk memeluk agama Islam secara sukarela dan nama Karangsirno diganti dengan Gringgingsari. Masyarakat sepakat. Akhirnya masyarakat dibai’at oleh mbah Pangeran Kajoran untuk masuk agama Islam. Masyarakat diajak untuk menyembah Allah, dan meninggalkan sesembahan yang lama yaitu agama Budha. Diajak berdo’a kepada Allah agar wabah penyakitnya sirna. Atas izin Allah akhirnya desa Karangsirno yang sudah berganti nama Gringgingsari terbebas dari wabah penyakit yang selama ini melanda dan sudah memakan banyak korban. Dan masyarakatnya juga sudah hidup dalam suasana yang baru yaitu kehidupan yang Islami berkat hidayah dari Allah dengan perantara Syekh Syarif Abdurrrahman atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Kajoran.

PANCURAN SENDANG DEPOK.

Setelah masyarakat desa Gringgingsari memeluk agama Islam, wabah penyakit kini sudah hilang sama sekali. Masyarakat tentram dan hatinya lega. Aktifitas sehari-hari bisa berjalan kembali dengan lancar. Mereka juga mulai giat belajar mendalami ajaran Islam dibawah bimbingan Syekh Syarif Abdurrahman atau Pangeran Kajoran.

Pada suatu hari Pangeran Kajoran mengajak beberapa orang pergi ke hutan mencari bambu untuk dibuat rangken atau bahan atap pembuatan masjid desa Gringgingsari. Ketika sampai di hutan dan sudah tiba masuk waktu shalat beliau mencari air untuk berwudlu, namun tidak ada sumber air yang dijumpainya. Akhirnya beliau menancapkan tongkatnya ke tanah, dengan izin Allah keluarlah air dari bekas tongkat yang ditancapkan oleh beliau. Dari situlah bukti karomah yang dimiliki oleh Pangeran Kajoran selaku seorang Waliyullah. Kemudian dibuat pancuran dari bambu. supaya air tersebut lebih mudah digunakan untuk berwudlu. Kemudian mereka menjalankan shalat di hutan tersebut. Bahkan Pangeran juga sempat berniat untuk mendirikan masjid di kawasan tersebut namun urung. Akhirnya tersebut dinamakan garung dari kata langgar yang wurung atau tidak jadi. Setiap selasai shalat merekapun selalu istirahat sambil ndeprok / duduk-duduk untuk menghilangkan lelah. Maka dari istilah inilah tempat tersebut dinamakan Depok yang asalnya dari kata ndeprok. Sampai sekarang pancuran Depok masih menjadi tujuan utama para penziarah untuk mandi dan mengambil airnya. Atas izin Allah air tersebut dapat menyembuhkan beberapa penyakit. Dan yang lebih istimewa air tersebut bisa langsung diminum tanpa harus dimasak lebih dahulu. Rasanya begitu segar sekali apalagi kalau kita meminumnya langsung dari pancuran. Bahkan air di pancuran Depok mempunyai kandungan mineral yang cukup tinggi yang sangat berguna sekali untuk kesehatan tubuh bagi yang meminumnya. Lokasi pancuran Depok kurang lebih 2 km arah selatan desa Gringgingsari dengan jalan agak menanjak terutama di gunung Klengkong. Mulai tahun 2009 jalan ke arah sana sudah mulai dilebarkan dan bisa di lalui oleh kendaraan roda dua dan empat. Namun karena belum diaspal jadi kalau habis hujan tidak bisa dilalui.

DESA SODONG

Untuk selanjutnya mereka melanjutkan perjalanannya masuk hutan, keluar hutan, namun belum juga menemukan bambu yang dicari. Kemudian mereka membuat sebuah tempat untuk berteduh namanya sodong ( ompyong ). Dari sinilah kemudian nama desa Sodong lahir yang letaknya di sebelah selatan Gringgingsari. Kemudian mereka melanjutkan perjalanannya kembali untuk mencari bambu. Akhirnya mereka pun menemukan rumpun bambu yang dicari. Kemudian bambu tersebut ditebang dan dibawa ke tanah lapang untuk dipotong-potong. Rumpun bambu yang kemudian tumbuh lagi oleh masyarakat desa Sodong disengker artinya tidak boleh ditebang oleh siapapun kecuali untuk kepentingan umum. Tempat tersebut dinamakan dapuran larangan / rumpun terlarang.

Mereka bekerja berhari-hari. Bekas tempat istirahat mbah Pangeran Kajoran bekerja juga disengker oleh masyarakat desa Sodong, yang melarang siapapun untuk duduk di atasnya. Konon katanya barangsiapa yang berani duduk di tempat tersebut akan kena laknat atau bebendu. Tempat tersebut kemudian dipagari supaya tidak diceroboh oleh siapapun. Tapi tempat tersebut sekarang sudah tidak berbekas karena perkembangan zaman. Pada tahun 1973 tempat tersebut terkena proyek pembangunan Sekolah Dasar Inpres dan pelebaran jalan, dan akhirnya pagar tersebut dibongkar.

BERPERANG DENGAN KI AJAR PENDEK

Untuk membuat rangken membutuhkan tali / tambang untuk merangkai bambu-bambu tersebut. Karena tidak ada tambang, maka mbah Pangeran Kajoran menyuruh sebagian orang untuk pergi mencari rotan. Kebetulan disebelah selatan desa Sodong ada gunung kecil dan di tempat tersebut banyak tumbuh pohon rotan. Mereka pergi ke tempat tersebut dan mulai menebang rotan dan memotongnya. Tanpa mereka sadari bahwa hutan tersebut ada yang menguasainya. Dan akhirnya mereka tertangkap oleh anak buah penguasa hutan tersebut. Kemudian mereka dibawa ke desa Silurah dan di hadapkan kepada penguasa desa tersebut yaitu Ki Ajar Pendek. Mereka pun akhirnya ditahan oleh Ki Ajar Pendek. Karena sudah berhari-hari mereka tidak pulang akhirnya mbah Pangeran Kajoran merasa cemas. Kemudian beliau menyuruh seseorang untuk mencarinya. Setelah dicari akhirnya terdengar kabar bahwa mereka sedang ditahan di desa Silurah atas kesalahan telah mengambil rotan di hutan tanpa seizin dari Ki Ajar Pendek. Utusan itu melaporkan hal tersebut kepada Pangeran Kajoran.

Singkat cerita akhirnya Pangeran Kajoran minta ma’af kepada Ki Ajar Pendek atas kesalahan yang telah dilakukan oleh orang-orang suruhannya. Tapi Ki Ajar Pendek tidak mau menerima permintaan maaf dari Pangeran Kajoran dengan begitu saja. Dia bersedia menerima maaf asalkan Pangeran Kajoran bersedia untuk adu kekuatan dan mengalahkannya. Demi kebebasan orang-orangnya, akhirnya Pangeran Kajoran bersedia untuk menerima tantangan dari Ki Ajar Pendek. Akhirnya pertarungan jarak jauh tingkat tinggi pun dimulai. Ki Ajar Pendek ada di desa Silurah sedangkan Pangeran Kajoran berada di desa Sodong.

Ki Ajar Pendek tahu bahwa waliyullah itu orang suci. Maka iapun menggunakan kesaktiannya dengan membuat hujan cacing supaya mengotori Pangeran Kajoran. Namun Pangeran Kajoran dengan karomahnya menciptakan hujan bebek yang akhirnya memakan cacing-cacing tersebut. Ki Ajar Pendek menjadi geram karena merasa kalah, kemudian ia mengeluarkan ilmunya yang lain yang lebih dahsyat yaitu hujan api. Namun sekali lagi karomah Pangeran Kajoran yang berupa hujan air mampu memadamkan api tersebut. Ki Ajar Pendek pun semakin marah karena selalu kalah dengan Pangeran Kajoran. Akhirnya iapun mengeluarkan kesaktiannya yang lain yaitu berupa hujan batu. Pangeran Kajoranpun tidak mau kalah. Beliau kemudian menciptakan angin topan yang dahsyat. Dengan kekuatan angin topan yang dahsyat tersebut, batu-batu itupun berterbangan dan jatuh di suatu tempat yang jauh. Batu tersebut jatuh di sebuah tempat yang sekarang bernama desa Kuwasan kecamatan Talun Kabupaten Pekalongan. Rumah Ki Ajar Pendek dan seisinya juga ikut terbang terbawa angin hingga tinggal batur atau bekasnya saja. Bekas rumah Ki Ajar Pendek oleh orang-orang silurah dinamakan kebun batur dan sampai sekarang masih ada. Pakaiannya jatuh di desa Sengare, sedangkan ilir atau kipas dari bambu jatuh di desa sumilir. Kedua desa tersebut masuk kecamatan Talun kabupaten Pekalongan dan terletak di sebelah barat Gringgingsari. Sedangkan bokor atau tempat menyimpan beras jatuh di desa Donowangun Talun Pekalongan. Jambangan tempat untuk menaruh air yang terbuat dari batu besar jatuh di suatu tempat yang sekarang bernama dukuh Jambangan desa Batursari Talun Pekalongan.

Menurut cerita bahwa jambangan yang ada di dukuh Jambangan tidak pernah kering airnya. Walaupun musim kemarau airnya selalu ada tanpa diketahui darimana sumbernya. Pada zaman pemerintahan Belanda, karena batu itu ¾-nya terbenam ke dalam tanah akibat jatuh sewaktu terbawa angin sewaktu terjadi pertarungan antara Pangeran Kajoran dan Ki Ajar Pendek maka oleh pemerintah Belanda batu tersebut diangkat ke atas untuk memudahkan orang-orang mengambil airnya. Namun setelah batu jambangan tersebut diangkat justru malah jadi kering tidak keluar lagi airnya sampai sekarang.

Lalu bagaimanakah nasib Ki Ajar Pendek yang juga ikut terbang terbawa angin? beliau jatuh di pendopo kabupaten Batang. Pada waktu itu kebetulan Kanjeng Adipati Batang sedang duduk di pendopo kabupaten dan angop atau menguap. Kemudian dengan kesaktiannya Ki Ajar Pendek masuk ke mulut Kanjeng Adipati dan bersembunyi di dalam perutnya. Kemudian ia disuruh keluar dan akhirnya dijadikan tukang merawat kuda Kanjeng Adipati Batang.

Kemudian Pangeran Kajoran melarang warga Gringgingsari untuk besanan dengan warga desa Silurah selama tujuh turunan. Namun larangan tersebut hari ini sudah berakhir, terbukti sudah banyak warga Gringgingsari yang besanan dengan warga Silurah dan alhamdulillah tidak tejadi hal-hal yang buruk. Hutan rotan yang pernah menjadi sengketa atas izin Allah telah berubah menjadi hutan bambu kecil-kecil. Sedangkan gunung kecil tersebut dinamakam gunung Raga Kesuma. Siapa saja yang lewat di kaki gunung tersebut pasti kulitnya akan mengalami perubahan warna yaitu menjadi cerah kekuningan. Penulis sudah membuktikannya. Namun jika sudah melewati kaki gunung tersebut warna kulit akan berubah seperti semula. Wa allahu’alam.

PEMBANGUNAN MASJID

Rintangan sudah berlalu. Rencana membuat rangken pun diteruskan. Bambu-bambu tersebut dibawa ke Gringgingsari untuk dibuat rangken. Talinya menggunakan penjalin atau rotan. Kemudian masjid didirikan. Atapnya menggunakan ijuk. Tiangnya dari kayu, dindingnya terbuat dari anyaman bambu, dan mustokonya terbuat dari pengaron atau paso tempat air yang terbuat dari tanah liat. Lantainya masih menggunakan tanah, jika mau shalat digelari tikar. Setelah masjid selesai dibangun ternyata belum ada sumber air untuk berwudlu. Kemudian Pangeran Kajoran pergi ke arah selatan desa Gringgingsari. Sampai di suatu tempat yang bernama Klatak atau juga Genting beliau meletakan ujung tongkatnya di tepi sungai dan kemudian menariknya dari tepi sungai tersebut sambil berjalan pulang ke Gringgingsari. Dengan karomah yang dimilikinya tanah yang dilalui Pangeran Kajoran jadi terbelah oleh ujung tongkatnya yang sedang ditarik dan membentuk aliran sungai sampai ke sebelah barat masjid. Akhirnya masyarakat Gringgingsari mendapat manfaat yang banyak. Sungai tersebut tidak hanya digunakan untuk berwudlu, namun juga untuk keperluan mandi, minum, memasak, dan juga untuk mengairi sawah. Oleh masyarakat Gringgingsari sungai tersebut dinamakan kali jamban. Untuk menjaga kesucian air tersebut, dari hulu sungai jamban yaitu dari tempat pertama kali Pangeran Kajoran menarik tongkatnya sampai areal masjid, siapapun dilarang untuk buang air besar, perempuan yang sedang haid dan nifas juga dilarang mandi di sungai tersebut. Siapa yang melanggar larangan tersebut baik disengaja atau tidak, akan terkena laknat atau bendu. Sudah banyak buktinya yang terkena laknat. Juga dilarang untuk kencing di areal masjid dan kawasan pemakaman.

Masjid peninggalan Pangeran Kajoran sudah direhab beberapa kali. Rehab terakhir tahun 2004 dan sampai sekarang belum selesai 100%. Jadi sudah tidak asli lagi. Yang masih asli hanya mustoko pengaron yang ada di samping mustoko yang baru.

PENINGGALAN-PENINGGALAN PANGERAN KAJORAN

Peninggalan – peninggalan Pangeran Kajoran dan tempat sejarah yang masih ada sampai sekarang yaitu :

a. Rumpun bambu atau dapuran larangan di desa Sodong

b. Pancuran Depok yang selalu dikunjungi penziarah untuk mengambil airnya dan mandi. Dilarang mandi sambil telanjang.

c. Masjid Al Karomah. Pemberian nama Al Karomah oleh remaja masjid pada tahun 1987.

d. Pakaian lengkap. Namun karena sudah berusia ratusan tahun maka pakaiannya sudah rusak, kecuali kuluk / ketu / kopiah. Jubahnya tersimpan di desa Kajoran Magelang.

e. Tasbih

f. Tongkat. Selalu dipegang oleh khatib sewaktu khotbah jum’at dan hari raya.

g. Sungai yang melintasi desa Gringgingsari

h. Makam Pangeran Kajoran dan Pangeran Trunojoyo.

i. Mustoko dari pengaron atau paso.

Adapun pemerintahan desa Gringgingsari yang sejak itu sudah berjalan demokrasi pemelihan kepala desa dengan cara berkelompo (dodokan) yaitu warga yang sudah mempunyai hak pilih duduk di belakang calon kepala desa, dan jumlah terbanyak dialah yang terpilih, lima kepala desa yang di pilih dengan cara tersebut yaitu :

a. Bapak Buang

b. Bapak Roto

c. Bapak Amad

d. Bapak Cahyo

Keempat kepala desa tersebut bertugas sejak tahun 1941 ke bawah, dari keempat kepala desa tersebut tidak ada perubahan sama sekali baik di bidang ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya.

Pada 1942 desa Gringgingsari merubah sisitem pemilihan kepala desa dengan cara menggunakan biting, dan tempat pemilihan di rumah warga, pada saat itu ada dua calon yang maju untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa yaitu bapak Samuri dan bapak Doryat, dari hasil pemeilihan maka bapak Doryat menjadi kepala desa yang terpilih. Bapak doryat melaksanakan tugas kepala desa sejak tahun 1942 sampai dengan 1975, hasil yang di capai pada masa kepemimpinan bapak doryat yang menonjol adalah berdirinya sekolah SD KB (sekolah dasar kewajiban belajar) pada tahun 1967 sampai dengan 1969. bertempat di dukuh Ujungsari adapun pengajar dari pensiunan guru bapak Suryadi dari desa Kedungmalang, yang merasa perihatin akan keadaan desa Gringgingsari, dan mendapat guru negeri dari kabupaten yaitu bapak Zaenal. Pada tahun 1970, karena Gringgingsari merupakan desa agamis maka sesepuh desa merintis Madrasah Ibtidaiyah baru, yang bertempat dirumah bapak H Zaeni dukuh Gringgingsari, karena begitu besar pengaruh agama islam didesa Gringgingsari maka murid SD KB pindah ke MI Gringgingsari, dan akhirya SDKB buabar, setahun kemudian yaitu pada tahun 1971, dengan suwadaya warga dapat mendirikan gedung MI walaupun dengan matrial bambu beratapkan rumbia. Pada saat itu jalan utama penghubung warga masih merupakan jalan setapak hal ini yang membuat ekonomi warga belum berubah sama sekali

Pada tahun 1975 desa Gringgingsari mengadakan pemilihan kepala desa dengan cara menggunakan gambar yag di pilih di ruangan khusus yang di sebut tobong, pada saat itu calon kepala desa ada dua orang yaitu bapak Abu Khoiri dan bapak Akrom, bapak Abu Khoiri menggunakan gambar payung dan bapak Akrom menggunakan gambar lampu, dan yang terpilih menjadi kepala desa yaitu bapak Akrom, beliau menjadi kepala desa sampai tahun 1989, adapun keberhasilan beliau adalah mendirikan SD impres di dukuh Ketawang, pada saat itu juga beliau membangun balai desa sebagai pusat pemerintahaan walaupun keadaannya sangat sederhana, selain itu akses jalan yang tadinya jalan setapak diubah menjadi jalan tanah, serta pembangunan jembatan untuk penghubung antar dukuh, dan ekonomi sudah mulai ada perubahan.

Pada tahun 1989 ada pemilihan kepala desa baru, pada saat itu yang maju mencalonkan diri menjadi kepala desa Gringgingsari adalah bapak Akrom dan bapak Kamali dan pada saaat itu yang terpilih menjadi kepala desa adalah bapak Kamali, periode bapak Kamali yang seharusnya delapan tahun cuman bekerja tiga tahun, karena banyak masalah. Dalam masa tiga tahun beliau merintis sebagain jalan di makadam.

Karena desa Gringgingsari kekosongan kepemimpinan yang devinitiv, maka desa Gringgingsari di beri PJS kepala desa yaitu bapak Haryoto, beliau adalah pegawai kecamatan wonotunggal, dari tahun 1992 sampai 1995, pada masa beliau tidak ada perubahan sama sekali di masyarakat.

Pada tahun 1995 desa geringgingsari mengadakan pemilihan kepala desa baru, pada saaat itu yang mengajukan diri mencalonkan kepala desa ada dua orang yaitu bapak Sobirin dan Bapak Abdul Khamid, yang terpilih menjadi kepala desa saaat itu adalah bapak Sobirin, beliau menjalankan tugas hanya dua tahun karena bermasalah.

Pada tahun 1997 desa Geringgingsari mengadakan pemilihan kepala desa baru, pada saaat itu yang mengajukan diri mencalonkan kepala desa ada satu orang yaitu bapak Rohim, namun pemilihan tersebut tidak membuahkan hasil bahkan pemilihan tersebut sampai diulang tiga kali namun tetep gagal.

Karena desa Gringgingsari kekosongan kepemimpinan yang devinitiv, maka desa Gringgingsari di beri PJS kepala desa yaitu bapak Muhayat, beliau adalah perangkat desa, yaitu kadus Ujungsari dari tahun 1997 sampai 2002, pada masa beliau jalan yang dahulunya tanah di buat makadam, dan pengaspalan jalan dukuh ketawang + 500 m, dan Jaringan Lisatrik masuk desa Gringgingsari.

Pada tahun 2002 desa Gringgingsari mengadakan pemilihan kepala desa baru, pada saat itu yang mengajukan diri menjadi calon kepala desa yaitu : bapak H. Sunhaji dengan gambar padi dan bapak Naseh dengan gambar ketela, yang terpilih menjadi kepala desa adalah bapak H. Sunhaji, beliau bertugas dari tahun 2002 sampai 2007, adapun hasil jalan makadam menjadi Aspal, Drainase, pembangunan MI Syafiiyah dukuh ujungsari, MADIN Ketawang, MADIN Gringgingsari dan saran olah raga berupa dua lapangan sepak bola dan dua lapangan volli ekonomi warga ada perubahan.

Karena desa Gringgingsari kekosongan kepemimpinan yang disebabapak karena berakhirnya masa tugas bapak H Sunhaji, maka desa Gringgingsari di beri PJS kepala desa yaitu bapak H. Sunhaji, beliau adalah mantan kepala desa 2002-2007, dan beliau bertugas sebagai PJS selama satu tahun sampai 2008.

Pada tahun 2008 desa Gringgingsari mengadakan pemilihan kepala desa baru, pada saat itu yang mengajukan diri menjadi calon kepala desa satu orang yaitu : bapak H. Sunhaji, dan beliau terpilih kembali menjadi kepala desa Gringgingsari, beliau bertugas dari tahun 2008 sampai 2014.

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!